Ini hanyalah sepenggal cerita indah dalam sebuah buku catatan kehidupan, ini hanyalah sepotong kue manis yang takkan kunjung habis, ini hanyalah rasa dalam hati seorang manusia, ini hanyalah cerita dalam sebuah nama.
Aku yang mengaguminya dari pandangan pertama, dari pertama kami berjumpa, dari pertama kami saling berjabat tangan dan dari pertama kami berbincang. Ya, kesan indah di pertemuan pertama ini datang dengan cepat tanpa bisa aku menghindarinya. Bagiku ini semua nampak begitu aneh, waktu tak pernah memberitahuku untuk mempersiapkan diri menyambut rasa ini, rasa yang seketika membuat bola mataku tak kuasa untuk memalingkan pandangan, rasa yang seketika membuat telingaku tak kuasa untuk terus mendengar setiap alunan nada indah yang terlontar dari pita suaranya.
Hujan berhenti, malam tenggelam, fajar menyambut pagi dan hari terus berganti. Aku masih mengagumi sosok ini, sosok yang baru aku kenal, sosok yang tak pernah aku lihat sebelumnya, sosok yang nampak selalu cerah dengan senyum manis di bibirnya. Sosok ini begitu membuatku terkagum, canda tawanya mencerahkan, tatapan matanya menenangkan.
Bumi terus berputar, matahari bergantian tugas dengan bulan dan bintang untuk memancarkan sinarnya. Setelah cukup lama mengenalnya, ternyata dia tak lagi sendiri, dia telah bersama sosok lain yang lebih dahulu menemaninya dan mengisi ruang hatinya. Sosok yang sangat beruntung dapat menemaninya, menemani dia yang sangatlah mengagumkan untukku. Nyatanya hanya sekedar angan untukku dapat menjadi bagian dari cerita indah kehidupannya, ada garis lain yang setidaknya membuatku masih akan terus berada di sampingnya. Kami berteman dekat, kami saling bertukar cerita, kami bebas tertawa, kami saling berbagi.
Senja takkan pernah nampak ketika matahari meredup tertutup mendung. Perasaanku nyatanya semakin menguat, rasa kagumku yang dahulu kini bertambah dan menumbuhkan rasa lain. Rasa yang lebih dari hanya sekedar teman. Aku mendengar tangis sakitnya, aku mendengar tawa bahagianya. Aku hanya bisa menenangkannya, menghapus air matanya, ikut tersenyum mendengar cerita bahagianya. Aku pendam semua rasaku agar tak pernah merusak bahagianya, aku terus mencoba mengurangi semua rasa ini dengan berusaha membuka hati dan membagi rasa dengan sosok lain. Sayangnya, aku, dia bahkan mereka tak bisa mengambil rasaku untuknya. Untuk dia yang sedang berbahagia dengan kebahagiaannya.
Aku terus disini, diposisi ini sedari kita pertama berjumpa. Aku masih disini, diposisi ini bahkan ketika dia tak lagi menginginkan keberadaanku. Tersadar, sedekat apapun posisiku disampingnya takkan pernah membuatnya melihatku. Tapi bagiku, dilihat atau tidaknya semua usahaku bukanlah hal penting. Karena untukku, dia berada diatas segalanya.
Daun jatuh ke tanah, daun terbang terbawa angin dan daun terseret mengikuti air. Kini, sosok lain yang dulu menemaninya perlahan menjauh dan memilih sosok pilihannya. Dia tak lagi memiliki pijakan untuk setiap langkah kakinya, dia terjatuh. Aku hanya dapat terus berusaha menjulurkan tanganku agar selalu ada untuk menghapus airmatanya, berada disampingnya dengan pundakku yang masih sangat kuat untuk dijadikan sandaran lelahnya.
Setiap detiknya masih seperti itu, aku hanya berusaha sebisaku agar selalu ada untuknya. Hingga tiba saat dimana hati menuntunku untuk mengutarakan semua rasa, untuk melontarkan dalam sebuah kata, untuk membisikkan padanya lewat sebuah nada.
Aku mengagumimu, aku menyimpan rasa lebih dari sekedar rasa untuk seorang teman. Aku menyukaimu sedari dulu.
Tak peduli bagaimana sikapnya kepadaku setelah itu, tak butuh respon lebih darinya, tak butuh pengakuan darinya, yang terpenting dia mengetahui perasaanku selama ini. Awan mulai membiru, angin menghembuskan harapan. Dia nampak menyambutku, dia nampak menerima kehadiran dan perasaanku. Sempat berpikir ini hanyalah efek dari perasaanku untuknya, sempat berpikir ini hanyalah anganku untuk bersamanya. Nyatanya tidak, dia pun menyadari kenyamanan diantara kami. Perlahan kami mulai saling mengenal, perlahan kami mulai saling memahami. Hingga pada suatu hari dia memintaku untuk menjauh, dia memintaku untuk mengubur dalam rasaku padanya, dia memintaku untuk nampak biasa seperti dahulu. Karena dia tak dapat dengan mudah menerima sosok baru di hidupnya, dia masih dengan trauma masalalunya, dia masih dengan semua perasaan untuk sosok lain yang sempat mengisi relung hatinya. Aku mundur, aku menjauh, aku mulai membiasakan diri dan mencoba mengubur rasa ini. Saat bercermin aku bertanya pada sosok yang berada di dalam cermin: "Secepat inikah bahagiaku? Adilkah aku memendam rasa ini sekian lama dan hanya dalam hitungan hari dia memintaku untuk kembali menjauh dan melupakan kedekatan kami selama ini? Tapi, bukankah aku tak pernah mengharapkan respon darinya atas semua perasaanku?". Tersadar akan batasan itu, akupun harus dapat menyelaraskan isi hati dengan isi kepalaku. Aku harus kembali ke posisiku dulu, aku harus kembali hanya dapat mengaguminya.
Gunung menyejukkan dengan rimbunan pohonnya, laut menyenangkan dengan hamparan airnya. Rasa selalu nampak indah ketika dinikmati, rasa selalu nampak menyenangkan ketika diikuti. Ya, rasa ini yang menuntun kami untuk kembali saling menikmati semesta kami berdua. Aku mencintainya dengan memperjuangkannya, dia mencintaiku dengan menikmati setiap proses waktu perjuanganku. Tidakkah itu menyenangkan?
Takkan ada usaha yang tak pernah ada hasilnya, baik buruknya itulah yang terbaik bagi kita. Aku menikmati setiap waktunya, aku menikmati setiap hembus nafasnya, aku bersyukur dipertemukan dengannya, aku beruntung mengenalnya. Hati yang tak berhenti saling bertautan, tangan yang tak pernah lelah diangkat untuk saling mendoakan, kening yang lapang untuk setiap kecupan. Andai anda ada di posisiku saat ini, bahagianya berjalan beriringan dengan waktu dan tangan saling bergenggam. Dengannya, untuk selamanya. Teruntuk kamu, SEMESTAKU :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar